Selasa, 27 Oktober 2009

Rancunya, Realisasi Kesejahteraan Di Nangroe Aceh "Darussalam"

Rancunya, Realisasi Kesejahteraan Di Nangroe Aceh "Darussalam"

Oleh: Tgk. Muhammad Gatot Aryo (Teuku Di Ciawi)

Bumi Nanggroe Aceh yang selama ini bergelar "Darussalam" kelihatannya perlu kehilangan gelar "Darussalam- nya" secara De fakto, karena Pemerintahnya dalam hal ini Gubernur dan 23 Bupati dan Walikota, hingga detik ini belum mampu mensejahterakan rakyatnya!. Tingginya angka kemiskinan dan rendahnya pembangunan ekonomi di Kabupaten dan Kota, harusnya membuat Para Pemimpin malu menggunakan gelar "Darussalam" bagi Acehnya. Karena makna Darussalam sesungguhnya adalah Negeri yang makmur dan subur, rakyatnya sejahtera, dan daerahnya berjaya. Tapi sungguh, realita kehidupan Aceh hari ini jauh dari ke kemakmuran, kesuburan, dan kesejateraan. Apakah masih pantas Aceh ini mengunakan gelar "Darussalam" kalau kenyataannya terbalik, sebuah gelar yang nadanya diagung-agungkan hingga ke seluruh Dunia?!.

Apakah juga masih layak Gubernur dan 23 Bupati dan Walikota di Aceh berbangga hati dengan gelar Darussalam, kalau jutaan rakyat Aceh yang mereka pimpin hidup masih dalam kemiskinan?! . Kemiskinan yang tidak pernah di perdulikan Pemimpinnya, karena mereka terlalu sibuk mengelola Proyek-proyek APBA untuk kepentingan pribadi, bahkan mungkin berindikasi hanya memperkaya diri sendiri!. Buktinya, beberapa tahun mereka memimpin Aceh, tapi tak ada sedikitpun program-program yang menyentuh rakyat miskin di Aceh. karena proyek yang ada, hanyalah proyek memperkaya Pejabat dan Pengusaha di Aceh bukan rakyatnya.

Para pemimpin Aceh harusnya bekerja untuk mensejahterakan, dan memakmurkan Rakyat Aceh, seperti yang selama ini di perjuangkan Para Tengku-Tengku di Aceh, yang bermimpi mengembalikan Kejayaan Aceh?!. Bahkan untuk membangun mimpi-mimpi itu para Tengku tersebut rela bergulat dalam konflik dan perang senjata, walau harus mengorbankan nyawa, hidup dalam kesengsaraan dan penderitaan yang berkepanjangan. Tapi mereka tetap konsisten memperjuangkan mimpi, walaupun terasingkan ke berbagai penjuru Dunia, mulai Eropa, Amerika, Australia, Malaysia, Singapura, Timur Tengah, Libya, dan Belahan Dunia lainnya. Lalu kemana nilai-nilai perjuangan yang selama ini bergelora dalam jiwa tersebut, apakah masih ada mimpi-mimpi membangun Bumi Nanggroe Aceh "Darussalam" ???. Kalau masih ada, walaupun setitik di dalam hati, tolong buktikan, dan realisasikan untuk mensejahterakan kehidupan rakyat Aceh, yang masih banyak terjebak dalam kemiskinan ekonomi???.

Kenyataan bahwa rakyat Aceh, masih hidup dalam kemiskinan adalah sebuah realitas yang tak bisa di sanggah oleh para Pemimpin Aceh. padahal dana yang di miliki Aceh setelah otonomi khusus berlaku tidaklah sedikit. Pasal183 ayat 2 Undang-Undang No. 11, manyatakan Pemprof Aceh mendapat Dana Otonomi Khusus setara dengan 2% Dana Alokasi Khusus (DAN) Nasional tahun 2008-2022. dan sesuai Qanun Aceh No.2 Tahun 2008 tentang tata cara Pngelokasian Tambahan Dana Bagi hasil (TDBH) Migas dan Otsus. Dimana 40% untuk Program-Pembangunan Aceh, dan 60% untuk Pembangunan Kabupaten dan Kota Di Wilayah Aceh.

Contoh saja alokasi dana Otsus 2008 seperti yang tercantum dalam Peraturan Menteri keuangan Nomor:56/PMK. 07/2008. Propinsi Aceh memiliki 3,53 Triliun dana untuk di alokasikan bagi Provinsi Aceh dan 23 Kabupaten Dan Kota. Lalu berapa persen dari dana tersebut yang digunakan untuk mensejahterakan rakyat Aceh, apakah dana itu sampai langsung dan terasa pada rakyat miskin Aceh???. Hanya Tuhan dan para Pejabat Aceh lah yang tau realisasi yang sesungguhnya? ??.

Bertriliun-triliun dana di cairkan, tapi rakyat Aceh tetaplah miskin. Tidak sedikit proyek-proyek Pemerintah di gulirkan, tapi sedikit sekali yang menyentuh subtansi pensejahteraan rakyat. Pemerintah Aceh (Baik Propinsi, Kabupaten dan Kota) hanya senang menggulirkan proyek-proyek pembangunan fisik, proyek yang basah (mudah terjadi penyimpangan) , dan menguntungkan para Pejabat dan Pengusaha. Sebab uang yang dihasilkan di sana cukup menggiurkan (baik dengan cara mark up atau pun uang pelicin). Walaupun secara sadar mereka menyadari, bahwa tindakan tersebut menghianati amanat, dan membohongi rakyat Aceh.

Sedangkan proyek-proyek yang berhubungan dengan pensejahteraan rakyat miskin. Misalnya bantuan modal bagi UMKM, Pelayanan Kesehatan, Sekolah Gratis, atau Pelatihan Wirausaha bagi rakyat Miskin Aceh gaungnya kurang terdengar, apalagi terasa?!. Atau mungkin memang sengaja di lupakan oleh para Pemimpin Aceh, karena Project itu sangat kering, dan susah memperoleh tambahan pernghasilan (Jatah Empuk). Tapi kalau Pemerintah benar-benar mengkaji, proyek-proyek model diatas, amat sangat berarti bagai rakyat miskin di Aceh, agar taraf hidup mereka meningkat.

Seandainya dari dana Otsus 2008 yang tertulis diatas, 1 triliun saja di gunakan untuk permodalan UMKM, seperti Pertanian, Perikanan, Peternakan, Perdagangan, atau Kerajinan Aceh, maka dampaknya akan sangat luar biasa. misal saja, satu UMKM di berikan 10 juta saja, maka akan ada 100.000 orang rakyat miskin di Aceh yang keluar dari lembah kemiskinan, dan mereka beralih menjadi pengusaha kecil dan menengah. Sebuah kebijakan yang real dan menyentuh langsung kesejahteraan rakyat Aceh, di bandingkan sekedar project pembangunan fisik, yang biasanya 10-20% dana tersebut menguap entah kemana (biasanya digunakan untuk uang pelicin atau uang kongkalikong) . Belum lagi kualitas bangunan yang yang jauh dari apa yang tertulis dalam kontrak project, apalagi kalau sampai para kontraktornya berlomba-lomba meminta surat pernyataan bencana alam dari Bupati/Walikota agar masuk pertimbangan kriteria forse majure. Satu sisi pemasukan tambahan untuk Bupati/Walikota (Project tanda tangan), tapi di sisi lain penghianatan terhadap rakyat secara sadar, dan tak bertanggung jawab (cuci tangan). Kalau kenyataannya pembangunan Aceh hari ini seperti ini, lantas harus menunggu sampai kapan rakyat Aceh, agar dapat merasakan kemakmuran dan kesejahteraan? ??.

Membuktikan Janji Partai Aceh (Ex GAM dan SIRA)

Para pemimpin Aceh hari ini, baik yang berada di Propinsi maupun Kabupaten atau Kota, Adalah Para Pemimpin yang berasal dari calon independent yang di dukung oleh kekuatan lokal seperti GAM dan SIRA. GAM yang selama tiga dekade menguasai daerah-daerah pedalaman Aceh, dan Sira yang sewindu membangun jaringan perkotaan termasuk hubungan di Luar Negeri. Dan Dalam tahun-tahun yang penuh dengan perjuangan, penderitaan dan pengorbanan. Hingga akhirnya mereka (GAM&SIRA) dapat memetik hasil dalam PILKADA langsung Kepala Daerah di Propinsi Aceh, secara tuntas, tunai, dan lunas.

Tapi amanat dari rakyat Aceh tersebut harusnya menjadi kesempatan emas bagi para Tengku yang berafiliasi dengan Partai Aceh (Ex GAM&SIRA), untuk membuktikan diri pada rakyat Aceh, bahwa mereka mampu mensejahterakan rakyat Aceh. bukan sebaliknya, memanfaatkan Amanat dan Kekuasaan yang di berikan rakyat untuk kepentingan diri sendiri, apalagi kalau sampai menghianati amanah rakyat. Kalau masih ada oknum-oknum semacam itu dalam internal PA, maka ia sama halnya telah menodai perjuangan rakyat.

Perjanjian Damai di Helsinki, Firlandia tahun 2005. menjadi kelegaan tersendiri bagi rakyat Aceh, yang selama ini terpenjara oleh berbagai krisis, bencana, perang, kekerasan, penculikan, dan pembanuhan tanpa sebab. Menjadi korban, akibat konflik bersenjata antara GAM dan TNI. Hidup dalam ketakutan dan mimpi buruk, menanti harapan baru yang tak kunjung datang. Harapan yang mampu mambawa Nangroe Aceh pada kedamaian, kesejahteraan, dan kemakmuran.

Tetapi ketika harapan baru tersebut datang, entah kenapa di selewengkan kembali oleh para oknum-oknum (ex GAM/SIRA) yang menjadi pejabat Pemerintah dan Anggota DPRD, karena mereka malah memanfaatkan jabatan tersebut untuk memperkaya diri, menggunakan uang rakyat untuk kepentingan pribadi dan golongan. Sedangkan, rakyat Aceh yang selama ini menjadi korban Perang dan Bencana Alam, semakin sengsara karena tidak adanya keperdulian Pemerintah yang benar-benar serius mengembalikan kesejahteraan mereka???.

Tidak sedikit bukti di lapangan, Para anggota mantan ex GAM dan SIRA, yang menjabat jadi Kepala Darah Atau Anggota DPRD, tiba-tiba kaya mendadak setelah menampati posisi strategis tersebut. Rumahnya bertambah, mobilnya bertambah, sampai istrinya pun bertambah (Poligami). Padahal kalau di hitung balik, gaji yang harus ia terima, dengan kekayaan yang di dapat dan di punyai, sebelum dan setelah menjabat, tidak sebanding??? .

Walaupun tidak semuanya seperti itu, hanya segelintir oknum saja,. Sebagian juga ada yang amanah, dan benar-benar memperjuangkan kesejahteraan rakyat Aceh. tapi akibat dari segelintir orang itu, merusak citra para ex GAM/SIRA lain yang banyak tergabung pada Partai Aceh sekarang. Padahal rakyat Aceh saat ini menaruh harapan besar pada Partai Aceh (PA) sekarang, untuk membuktikan jainjinya yang banyak di Gembar-gemborkan saat kampanye PILKADA.

Dan bagi rakyat Aceh yang mengetahui dan kecewa pada para Pejabat Ex GAM/SIRA, mereka sedikit ragu untuk menegur para penyeleweng tersebut. Alasannya, mereka masih trauma atas kekejaman, dan ketakutan yang terjadi saat Perang. Akhirnya, mereka di biarkan begitu saja tanpa ada yang mengingatkan, apalagi menyadarkan? ??.

Apa lagi saat ini kekuatan Partai Aceh di parlemen cukup besar, sekitar 33 kursi atau 50% suara dari 69 suara yang tersedia. Wewenang yang cukup basar bagi Partai Aceh (PA) untuk menentukan kebijakan-kebijakan publik yang pro rakyat miskin. Di tambah fasilitas yang di berikan seperti rumah dinas seharga Rp.551 juta-Rp.699 juta perunit. Dan fasilitas mewah lain yang di sediakan Pemerintah, tapi sayang sekali kalau semua itu tidak di manfaatkan untuk mensejahterakan masyarakat di Aceh.

Penegakkan Syariat Islam Yang Setangah Hati

Penegakan Syariat Islam di Nanggroe Aceh Darussalam adalah hal yang tak bisa di tawar lagi, bagi rakyat Aceh. karena sesungguhnya Syariat Islam adalah warisan budaya yang secara integral telah menyatu dalam kehidupan rakyat Aceh. Malah syariat Islam telah masuk dalam aturan Qanun, yang diwariskan para Ulama Aceh tempo dulu, seperti yang tertulis dalam Kitab Qanun Maukuta Alam Alasy (Warisan Kesultanan Aceh).

Artinya sistem budaya masyarakat Aceh dari Desa hingga Kota selama ini bersumber dan mengispirasi nilai-nilai Syariat Islam (Al-Quran Dan Hadist). Baik dalam persoalan Pidana maupun Perdata, masyarakat Aceh selalu menjadikan Al-Quran dan Hadist sebagai rujukan/Imam. Artinya segala sesuatu tindakan yang di ridhai Allah, adalah sesuatu yang benar. Dan seseatu yang tidak di sukai Allah, adalah hal-hal yang di larang.

Sistem penegakan syariat Islam di Aceh, mulai cukup mapan. Seluruh wanita yang beragama islam di Aceh harus berjilbab bila berpegian, juga bila azan berkumandang toko-toko harus tutup, dan di perbolehkan buka kembali setelah Shalat. Juga, banyak hal lagi yang penerapan Syariat Islam baik secara Pidana maupun Perdata yang mulai berjalan di Aceh.

Tapi ada sedikit hal yang mengganjal baru-baru ini, ketika para Pemimpin Aceh (Eksekutif) enggan mengsahkan rancangan Qanun Jinayat & Raqam Hukum Acara Jinayat. Gubernur Aceh yang saat ini menjabat, dengan lantang menolak subtansi hukum Rajam dan Uqubat, dengan alasan pertimbangan filosofis, yurudis dan benturan materi pengaturan. Padahal semua hukum tersebut merujuk, dan bersumber dari Al-Qur'an dan Hadist. Aturan hidup yang di wajibkan dan di pemerintahkan oleh Allah SWT.

Memang kalau di teliti dari segi ideologi, GAM maupun SIRA sesungguhnya menganut Ideologi yang lebih dekat pada pemikiran Sekuler. Dari segi perjuangan GAM maupun SIRA muncul karena ketidakpuasan yang di sebabkan oleh kesenjangan ekonomi, kekecewaan daerah kaya yang penduduknya banyak yang miskin. Perlawanan mereka lebih banyak di pupuk oleh cara Jakarta yang mengambil kekayaan Alam di Aceh, tanpa menebarkan pemerataan kesejahteraan. Jadi lebih dominan faktor ekonomi dan politiknya di bandingkan perjuangan murni penegakkan Syariat Islam.

Pada hakikatnya keberadaan Qanun yang bernuansa Syariat Islam, tidaklah terlalu penting dalam penegakkan Syariat Islam. Dengan syarat, harus adanya kesadaran dan pemahaman publik dari seluruh rakyat Aceh tentang pentingnya melasanakan Syariat Islam tanpa paksaan. Penyadaran dan pemahaman publik Syariat Islam menjadi lebih penting di bandingkan penerapan aturan Syariat (Qanun) yang karakternya memaksa/mewajibkan. Sebab, kalau kesadaran menjalankan Syariat Islam sudah ada pada Masyarakat Aceh, baik secara Pidana Maupun Perdata, maka aturan Qanun tidak terlalu di perlukan lagi, karena pelaksanaannya sudah berjalan tanpa paksaaan.

Tapi disisi lain, tidak layak juga apabila ada seorang Gubernur, dengan gegabah menentang Perintah Allah SWT (Al-Qur'an&Hadist) , Cuma karena alasan filosofis, yuridis, apalagi benturan materi pengaturan. Eksekutif pun di harapkan jangan terlalau sombong, aplagi yang di tolak adalah aturan-aturan yang berhubungan dengan Syariat Islam (Perintah ALLAH!!!)
Bumi Nangroe Aceh Darussalam, mengalami banyak ketertinggalan pembangunan akibat konflik puluhan tahun, apalagi kalau di bandingkan daerah-daerah lain di Sumatra. Karena itu ada 3 hal penting yang patut di perhatikan seperti yang saya jelaskan di atas, kalau Aceh benar-benar secara de facto ingin layak di gelari "Darussalam" . Pertama, fokuskan kinerja Pemerintah pada program pemberdayaan rakyat Aceh, melaui pembangunan ekonomi masyarakat berbasis UMKM. Kedua, tegakkan Syariat Islam melalui jalur hukum dan jalur Penyadaran pemahaman masyarakat. Yang ketiga, elit-elit dalam Partai Aceh yang saat ini mendominasi Eksekutif dan Legislatif, harus membuktikan diri bahwa mereka mampu merealisasikan janji-janjinya saat berkampanye di hadapan rakyat Aceh. bukan sebaliknya, hanya memperkaya diri, dengan menggerogoti uang-uang rakyat. Semoga ini menjadi kesadaran bersama, dan semoga Aceh ke depan, menjadi Nanggroe Aceh yang rakyatnya makmur dan Sejahtera!!! . AMIN

Penulis adalah Pengamat Sosial Politik Aceh,
beliau juga masih merupakan keturunan ke tujuh
Teuku Cik Di Paloh (Syekh Abdussalam), Lhoksumawe.

Tidak ada komentar: