Selasa, 15 Juli 2008

Dilematis Penertiban PKL di Bogor

Oleh : Gatot Aryo


PKL di jalan-jalan pasar anyar (MA Salmun, Dewi sartika, dan Nyi Raja
Permas) telah di tertibkan. Pemerintah Daerah pun sangat dan puas
karena telah berhasil mengusir sekitar 4000 PKL dari ruas-ruas jalan
Pasar Anyar. Sesuai perda no.13 tahun 2005 jalan MA salmun, Dewi
Sartika, dan Nyiraja Mas telah di tertibkan yang dengan melibatkan
beberapa instansi gabungan dengan biaya sekitar 37 milyar. Hasilnya
jalanan sekitar pasar anyar terasa lengang walaupun kesan kumuh masih
belum hilang karena tumpukan kayu yang berserakan bekas bongkaran.

Dalam situasi seperti ini siapa yang diuntungkan. Karena biasanya 3
ruas jalan itu di padati trasaksi perdagangan warga bogor yang
omsetnya milyaran perhari. Daya serap kehidupan ekonomi di tempat itu
sangat tinggi, secara bisnis lokasi tersebut menggiurkan sebagai
sentral market perdagangan terutama bagi para pengusaha lokal maupun luar.

Sangat sulit di percaya apabila kawasan tersebut hanya dijadikan
fasilitas public. Pemda tidak mungkin sebodoh itu membiarkan sebuah
potensi ekonomi strategis di buang sia-sia. Kemungkinan besar
kepentingan para pengusaha (investor) akan mempengaruhi bahkan bisa
jadi berebut tempat menduduki lokasi strategis yang baru digusur itu.
Mungkin juga munculnya isu penataan PKL ini tidak terlepas dari
persaingan pasar tidak sehat antara para pengusaha (konglomerat)
dengan para Pedagang Kaki Lima.

Dalam penertiban PKL di Bogor belakangan ini kepentingan tangan-tangan
Kapitalisme sangat terlihat jelas. Ketika begitu banyak Mal di Bogor
yang dibangun tanpa memenuhi standar Undang-Undang yang berlaku.
Contohnya aturan UU mengharuskan jarak Mal dan Pasar Tradisional tidak
kurang dari 1 kilometer. Coba ukur jarak Mal Botani Square dengan
Pasar Baru Bogor, atau pasar Jambu dengan Mal Jambu Dua, atau Bogor
Trade Mal dengan pasar Lawangseketeng yang kurang dari 1 KM. Aturannya
telah dilanggar tapi kenapa Pemda tetap mengeluarkan izin pembangunannya.

Tentang pembangunan Bogor Trade Mal (BTM) yang dulunya Pasar Ramayana
sebagai sentral perdagangan memiliki kerancuan. Saat pasar itu akan
dibongkar Pemda mengatakan lokasi tersebut akan dibangun bangunan
budaya yang tujuannya mengembalikan situasi Bogor tempo dulu, tapi apa
yang terjadi sekarang bukan bangunan budaya yang muncul malah sebuah
Mal yang konsepnya sangat modern. Dan dampak sosial dari pembongkaran
tersebut sebagian pedagang pasar Ramayana yang tidak tertampung
relokasi, tumpah di jalan Suryakencana menjadi PKL dadakan setiap
malam hingga dini hari.

Pada akhirnya persaingan pasar sistem ekonomi kapitalis (kepentingan
modal) membuat Pemerintah Daerah buta sosial dan hanya mementingkan
pada pemegang modal yang paling kuat. Pemda terlalu mengutamakan
Peningkatan pendapatan Daerah melalui investasi para Konglomerat dari
pada berkerja keras memberdayakan masyarakat miskin (PKL) dengan
memberi ruang usaha yang strategis dan kompetitif pada mereka.


Dilematis Satpol PP

Sudah menjadi rahasia umum di institusi Satpol PP selain bertugas
menertibkan PKL mereka juga menarik pungutan liar pada PKL dengan
konsekuensi dagangan mereka di amankan dari penertiban. Satpol PP
telah menjadi beking para PKL yang ingin lahan usahanya tidak digusur.
Padahal aturannya tidak ada, bayangkan saja bila jumlah PKL di sekitar
Pasar Anyar jumlahnya 4000 PKLxRp.1000 perhari maka sudah 4 juta yang
terkumpul setiap hari. Bila dikali satu bulan sudah 120 juta yang
dikantongi oknum Satpol PP di luar gaji yang mereka terima dari Pemda.

Dengan gaji PNS level Satpol PP yang sangat pas-pasan di tengah
kebutuhan hidup yang tinggi, Pungli adalah lahan basah yang sangat
menggiurkan para oknum Satpol PP. Tetapi dalam situasi ini PKL selalu
menjadi korban, karena retribusi yang ditarik tidak jelas aturannya
selain itu tempat yang mereka pakai tidak permanen.

Selain tidak ada kejelasan tempat usaha para PKL beresiko tinggi
karena sewaktu-waktu lahan mereka bisa digusur. Sementara mereka tidak
ada pilihan lain yang lebih baik, para PKL hanya ingin keluar dari
jurang kemiskinan yang membelenggu sedangkan Pemda hanya sibuk
memikirkan diriya sendiri daripada rakyatnya.

Anggaran penertiban sendiri yang jumlahnya mencapai 37 Miliyar terlalu
besar kalau hanya ingin memusnahkan PKL dari jalanan, sangat
disayangkan Pemda harus menghabiskan banyak anggaran hanya untuk
menciptakan orang-orang miskin baru. Kebijakan yang kontra produktif
bagi rakyat, seandainya angka 37 milyar tersebut di gunakan untuk
mengelola lokasi usaha yang strategis dan kompetitif untuk para PKL
maka kemungkinan besar dalam tempo tidak lama masalah PKL di Bogor
bisa selesai.

Penertiban PKL sendiri mengaburkan jejak-jejak korupsi yang selama ini
dilakukan instansi Satpol PP jangan-jangan anggaran penertiban PKL
juga di korupsi, para oknum PolPP harus di usut tuntas karena selama
ini telah merugikan PKL dengan menarik pungutan liar dan mengelola PKL
secara ilegal. Sebuah bentuk arogansi birokrasi dan kebobrokan mental
aparatur negara.

Peningkatan Angka Kemiskinan

Kalau di tiga ruas jalan Pasar Anyar saja ada sekitar 4000 pedagang
kaki lima yang kehilangan lahan usahanya, maka bisa dipastikan telah
muncul 4000 kepala keluarga di Bogor yang miskin akibat kehilangan
mata pencahariannya. Bila satu kepala keluarga memiliki tanggungan 3-5
orang saja, jumlah orang miskin baru yang muncul di Bogor sekitar
12.000-20.000 orang. Angka yang fantastis dari dampak kebijakan Pemda
yang pro investor dengan anggaran biaya penertibannya mencapai 37 Milyar.

Sebuah tindakan yang tidak masuk akal ketika Pemda punya anggaran
tetapi dana yang ada tidak di gunakan untuk mengurangi angka
kemiskinan dan pengangguran justru malah meningkatkan angka
kemiskinan dan pengangguran. Kalau begitu apa gunanya keberadaan
pemerintah kalau kerjanya menghabiskan uang rakyat bukan untuk
membangun tetapi malah merusak.

Di Bogor sendiri ada sekitar 30ribu-40ribu PKL yang menempati
fasilitas public Kota Bogor yang melanggar Perda No.13 Tahun 2005.
Angka tersebut setara dengan data Pemda Kota Bogor tentang jumlah
keluarga miskin sekitar 35ribu-40ribu Kepala Keluarga. Dari data ini
saja bisa di simpulkan secara sedehana bahwa keluarga miskin di Bogor
yang tidak terserap tenaga kerja rata-rata berprofesi menjadi Pedagang
Kaki Lima dan sebagian kecil lagi menjadi pengemis.

Keberadaan PKL ternyata dapat menjadi katup pengaman sementara untuk
mengurangi angka kemiskinan dan pengangguran di Bogor. Yang sangat
disayangkan adalah ketika katup pengaman ekonomi ini di hilangkan oleh
pemda di saat Pemerintah Daerah sendiri gagal menanggulangi persoalan
kemiskinan dan pengangguran.

Yang dikhawatirkan ketika persoalan kemiskinan ini berlarut-larut
tidak selesai akibat ulah Pemda sendiri. Yang terjadi adalah
meningkatnya angka kejahatan dan kriminalitas yang bermotif ekonomi
seperti pencopetan, pencurian, dan perampokan. Ini akan mengganggu
stabilitas keamanan dan menciptakan ketidaktenangan sosial di Bogor.

Karena itu hendaknya Pemeritah Daerah lebih arif mengsikapi persoalan
PKL ini, bukan semata-mata persoalan kebersihan dan keindahan tatakota
Bogor. Ada dampak sosial di balik penertiban ini yang harus di
selesaikan dengan baik, dan dalam hal ini Pemerintah Daerah
sepenuhnnya harus bertanggung jawab kepada rakyat akibat ulahnya.

Dampak Sosial

Semua masalah PKL ini bermuara pada Perda-Perda penataan PKL yang
bermasalah dan kontra produktif. Seperti halnya di Kota Bogor Perda
No.13 tentang penataan PKL perlu direvisi dan ditinjau ulang, jangan
sampai perda-perda seperti ini hanya menjadi ajang konspirasi
kepentingan investor dan konglomerat. Sedangkan rakyat miskin yang
butuh diberdayakan malah dimusnahkan oleh sistem ekonomi yang telalu
berpihak pada kepentingan kapital (modal).

Sebenarnya kebersihan dan keindahan tatakota Bogor bisa bersinergi
dengan penataan PKL apabila Pemda dan DPRD memiliki kemauan. Bukan
pengelolaan ilegal yang dilakukan oknum Satpol PP, dan bukan pula
kepentingan segelintir orang yang memiliki kapital (Konglomerat). Tapi
Pemda harus mengelola PKL secara arif dan bijaksana dengan
mengedepankan kebijakan-kebijakan yang tidak buta sosial demi
kepentingan pubic yang lebih membutuhkan yaitu rakyat miskin.

Kebijakan penertiban PKL yang semena-mena dan tidak dibarengi anlisis
dampak sosial akan menciptakan ketidakseimbangan sosial yang berdampak
buruk bagi rakyat. Seperti keinginan untuk meingkatkan kebersihan dan
keindahan tapi yang terjadi malah menigkatnya angka kemiskinan,
pengangguran dan kriminalitas. Perda-perda PKL yang dibuat Pemerintah
daerah diseluruh Indonesia harus dikaji ulang dan direvisi kearah
yang lebih konstruktif dan produktif demi mewujudkan kesejahteraan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia bukan segeintir orang.

Penulis adalah Pengamat Muda
Bidang sosial politik PSTD (Prisma Study Trans Dimensi)

Tidak ada komentar: